Case-Mix pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada
tahun 1980. Sebelum masuk ke Indonesia, sistem Case-Mix telah diterapkan di
banyak negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Thailand, Australia, serta
Malaysia. Case-Mix di Indonesia merupakan adaptasi dari sistem serupa yang
diterapkan di Malaysia. Dalam hal ini, Depkes RI menggandeng Universiti
Kebangsaan Malaysia (UKM), sebagai partner untuk merumuskan sistem Case-Mix
yang paling sesuai bagi Indonesia. Kerja sama ini berbentuk sebuah Pilot Project
Implementasi Case-Mix di 15 rumah sakit di Indonesia.
Centre for Case-Mix adalah sebuah wadah yang dibentuk Depkes
RI, yang bertugas mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data dan informasi
mengenai pelaksanaan Case-Mix di 15 rumah sakit yang telah ditunjuk pemerintah
sebagai tempat uji coba sistem Case-Mix. Berbekal data yang dikirimkan dari
rumah sakit-rumah sakit tersebut Centre for Case-Mix menyusun daftar INA-DRG.
Adapun rumah sakit yang berpartisipasi dalam kerja sama ini adalah :
1. RSU H. Adam Malik, Medan
2. RSUP Dr. M. Djamil, Padang
3. RSUP Dr. M. Hoesin, Palembang
4. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
5. RSUP Fatmawati, Jakarta
6. RSUP Persahabatan, Jakarta
7. RS Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta
8. RS Jantung & Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta
9. RS Kanker Dharmais, Jakarta
10. RSUP Hasan Sadikin, Bandung
11. RSUP Dr. Kariadi, Semarang
12. RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
13. RSUP Sanglah, Denpasar
14. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar
15. RSUP Dr. R. D. Kandou, Manado
Case-Mix merupakan sistem pembayaran pelayanan kesehatan
yang berhubungan dengan mutu, pemerataan, jangkauan dalam sistem pelayanan
kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan kesehatan, serta
mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran. Case-Mix merupakan
suatu format klasifikasi yang berisikan kombinasi beberapa jenis penyakit dan
tindakan pelayanan di suatu rumah sakit dengan pembiayaan yang dikaitkan dengan
mutu dan efektivitas pelayanan.
Dalam sistem Case-Mix, terdapat 14 variabel mengenai pasien
yang perlu dicatat oleh rumah sakit, yaitu :
1. Identitas Pasien
2. Tanggal masuk rumah sakit
3. Tanggal keluar rumah sakit
4. Lama hari rawatan
5. Tanggal lahir
6. Umur ketika masuk rumah sakit (dalam satuan tahun)
7. Umur ketika masuk rumah sakit (dalam satuan hari)
8. Umur ketika keluar dari rumah sakit (dalam satuan hari)
9. Jenis kelamin
10. Status keluar rumah sakit (discharge disposition)
11. Berat badan baru lahir
12. Diagnosis utama
13. Diagnosis sekunder, seperti komplikasi dan komorbiditas
14. Prosedur atau pembedahan utama
Dalam sistem Case-Mix, yang menjadi perhatian adalah bauran
kasus, yaitu apakah diagnosis utama yang ditegakkan pasien serta komplikasi apa
yang mungkiri terjadi akibat diagnosis utama tersebut. Diagnosis utama itu lah
yang dijadikan acuan untuk menghitung biaya pelayanan. Penghitungan biaya
berfokus pada variabel tersebut, sehingga rumah sakit tidak akan mencantumkan
hal-hal yang tidak seharusnya dalam pembayaran. Dengan demikian, penghitungan
biaya menjadi lebih mudah dan tepat. Tidak ada pembayaran untuk hal-hal yang
sekiranya tidak berhubungan atau tidak perlu. Prioritas pelayanan pasien akan
diberikan sesuai dengan tingkat keparahan, dan tidak dilakukan secara
sembarangan. Ini tentunya dapat menekan biaya pelayanan kesehatan yang kerap
menjadi masalah bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Masyarakat tidak
akan merasa ditipu akibat harus membayar biaya di luar pelayanan yang
seharusnya.
Selain memberikan fokus dalam masalah penghitungan biaya,
Case-Mix juga memberikan standar nasional mengenai berapa biaya yang harus
dikenakan untuk diagnosis tertentu. Hal ini memberikan kepastian sekaligus
transparansi pada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan. Dengan
demikian, biaya dapat diprediksi, dan keuntungan yang diperoleh rumah sakit pun
dapat lebih pasti. Pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia lebih mungkin
untuk tercapai karena adanya standardisasi tariff secara nasional.
Standardisasi bukan hanya berguna bagi masyarakat miskin, tetapi juga bagi
masyarakat golongan menengah atas yang terbiasa berobat ke luar negeri. Dengan
adanya tarif standar yang lebih terjangkau, mereka tentunya akan berpikir dua
kali sebelum memutuskan untuk berobat ke luar negeri.
Dengan data yang begitu lengkap dan akurat, Case-Mix juga
dapat berfungsi sebagai mjukan bagi Rumah Sakit dalam melakukan penilaian
terhadap berbagai pelayanan yang telah diberikan Dengan demikian, efektivitas
pelayanan kesehatan dapat terkontrol dan dievaluasi karena sistem yang ada sudah
memiliki standar dalam hal penggunaan berbagai sumber dayanya. Dengan demikian,
rumah sakit memiliki acuan yang jelas dalam usaha meningkatkan mutu pelayanan
mereka.
Namun, pelaksanaan Case-Mix pun tidak lepas dari berbagai
kendala. Salah satunya adalah kendala dalam melakukan diagnosa dan
pengkodeannya. Sampai dengan sekarang, selain ke-15 rumah sakit berpartisipasi,
rumah sakit di Indonesia banyak yang belum mulai menggunakan pengkodean medis.
padahal, kunci sukses dari penyusunan Case-Mix adalah pada diagnosa dan
pengkodean yang teliti. Depkes RI telah berusaha mengantisipasinya, dengan
mengadakan pelatihan pengkodean, diagnosis, dan prosedur yang mengikuti standar
intemasional.
Selain itu, pengumpulan informasi tentang berbagai variabel
serta biaya dalam Case-Mix juga tidak mudah. Memerlukan usaha yang keras,
komitmen, serta motivasi yang tinggi. Penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi juga tengah diusahakan demi mempermudah penerapan Case-Mix. Dalam
sejumlah kasus, seperti di ruang isolasi, Case-Mix juga sulit diterapkan karena
besar kemungkinan pasien mengalami perpindahan diagnosis utama dari DRG menuju
tingkat yang lebih mahal.
Dalam pengembangannya, Depkes RI menggunakan software
Clinical Cost Modelling Software yang menggunakan 3 macam pendekatan costing
konvensional yang berbeda, yaitu Step-Down Costing, Activity-Based Costing, dan
Case-Mix Costing. Dengan mengkombinasikan 3 pendekatan itu, informasi yang
dihasilkan lebih akurat dan stabil.
0 komentar:
Posting Komentar